Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mrs. High Heel


        “Selamat pagi semua….” Ibu Dince berkata. Berbaju rapi dengan mengenakan blazer bermerk, aksesoris lengkap, tas mahal bergantung di pangkal tangan, dan high heel 7 cm.

   Suara langkahnya sangat khas, sehingga sesama rekan kerja di ruangan Marketing itu pun langsung menyambutnya.

   “Pagiiiiiii, Ibu!” Semua menyahut bagaikan paduan suara.

  Aroma parfumnya semerbak memenuhi ruangan, secara itu pasti juga bukan wewangian refill.

“Eh, sudah pada sarapan belum?” Ibu Dince bertanya lagi. Jabatannya sebagai Supervisor Marketing menjadikan dia yang paling di segani, karena dia salah satu pegawai senior di perusahaan penerbangan bergengsi ini. Setelah meletakkan tas, dia pun langsung menuju pantry untuk membuat kopi mix kesukaannya.

“Belum, Ibu.” Geisha menjawab riang. “Ibu Dince pasti mau meracik kopi ya? Aku juga ah.”

“Ayo, Geish.” Ibu Dince berkata.

Jam sudah menunjukkan pukul 8.30. Kedua pegawai senior itu masih asyik bercakap – cakap di pantry. Sementara para pegawai junior dan anak – anak kontrak sudah terlihat sangat sibuk di depan komputer masing – masing. Ada yang membuat laporan, ada yang sedang berkorespondensi dengan kolega di luar negeri, ada yang ngeprint berlembar – lembar, foto copy, sampai mondar – mandir ke ruangan bos untuk koreksi.

Ibu Dince dan Geisha turun dari pantry karena letaknya ada di lantai 2. Mereka berjalan santai sambil membawa mug berisi minuman favorit mereka, yang satu kopi, dan satunya lagi teh panas.

“Enak sekali aroma kopi ini. Tanpa kopi rasanya mustahil untuk bisa fokus bekerja.” Ibu Dince mengoceh lagi. Dia berdiri di depan meja Geisha.

“Iya, aku juga kalau pagi selalu minum teh. Kurang lengkap rasanya kalau belum minum teh.” Geisha menimpali. “Masak kita hanya minum, Ibu Dince?”

“Beli apa kek, Geish.” Ibu Dince lalu meneguk kopi panasnya.

“Gorengan? Mau?” Geisha bertanya sambil membuka dompet.

“Aduh, jangan gorengan. Kolesterol. Taoge goreng lebih enak. Aku lebih suka kalau taogenya tidak terlalu lembek. Jadi agak mentah, so berasa crunchy.” Ibu Dince menjelaskan dengan gaya elitnya. “Aku kemarin waktu pergi ke Belanda sama Gina anakku, aduh….gila…aku ngidam taoge goreng. Di sana mana ada? Akhirnya aku makan salad.”

“Yah, ke Belanda ngidam taoge goreng.” Geisha berkata lalu tertawa nyaring. “Mana ini si Fachri? Di telepon kok tidak diangkat?”

“Kalau tidak diangkat begitu, biasanya dia lagi di workshop, Geish. Bantu anak – anak tehnik angkat komputer.” Ibu Dince berkata. “Kamu serius sekali, Donny.” Dia berdiri sambil tetap memegang mugnya, lalu berjalan ke arah meja Donny.

Donny langsung dengan kecepatan kilat menutup layar percakapan Yahoo Messengernya. “Iya, Ibu Dince. Disuruh Pak Handi membuat laporan sales tiga bulan berturut – turut.

“Owh!” Ibu Dince berkata singkat. “Kamu sibuk apa, Winda?”

“Saya sedang mengerjakan segala persiapan untuk event bowling itu, Ibu.” Winda salah satu anak kontrak itu menjawab ramah.

“Jangan terlalu serius. Santai saja.” Ibu Dince berkata. Dengan memegang mugnya, dia duduk lagi di depan meja Geisha. “Sudah tersambungkan belum dengan Fachri? Sudah mulai lapar ini. Nanti kehabisan lho kita.”

“Fachri lagi sibuk di gudang, tapi aku sudah minta tolong satpam untuk pesan. Sudah di buatkan kok. Sebentar lagi di antar.” Geisha berkata.

“Wah, mantab! Eh, nanti kalau sudah jadi taoge gorengnya, jangan makan disini, kita ke ruangan training saja. Makan sama – sama disitu. Pasti si Tania, Tere, dan Bernard juga lagi sarapan.

Jarum jam menunjukkan angka 9.00 dan setelah satpam membawa 2 piring berisi taoge goreng ke dalam, Ibu Dince dan Geisha bergegas berjalan menuju ke ruang training.

“Makan apa?” Bernard bertanya dengan lemah gemulai. Badan tinggi besar, berkumis, plus penyuka pria – pria ganteng dan parlente. “Idih, taoge goreng. Sangat tidak keren.”

“Memangnya kamu sarapan apa, Ber?” Geisha bertanya sambil meletakkan piringnya di meja Bernard. Dia pun mulai menyantap taoge goreng.

“Scrambled egg, French fries, dan tuna sandwich.” Bernard berkata.

“Boleh ambil French friesnya?” Ibu Dince mengambil satu potongan kentang goreng.

“Silahkan.” Bernard mendorong piringnya.

“Wah, sarapan kamu juga enak kelihatannya.” Ibu Dince bergerak lagi ke meja Tania. “Masak sendiri atau beli, Tan?”

“Pembantuku jago masak. Nasi gorengnya enak, di tambah sosis goreng jadi makin komplit.” Tania berkata sambil sesekali melihat ke arah kaca kecil di mejanya. Dia paling memperhatikan penampilan walaupun hanya bermodal wajah yang sangat biasa. Rok ataupun celana yang dipakainya selalu bertipe super ketat, rambut pendek berwarna pirang, dan perhiasan yang serba gemerincing. Penampilan itu dapat menyamarkan beberapa gigi di gusinya yang ompong. Satu tangan selalu di pergunakan untuk menutup mulutnya setiap kali dia tertawa. Dia memang termasuk golongan paling pintar, segala bidang di setiap unit kantor yang membutuhkan solusi, dia yang sering memecahkannya. Sehingga hal itulah yang membuatnya sombong. 

“Tere tidak terdengar suaranya?” Ibu Dince menoleh ke mejanya. “Aduh, kamu asyik sekali kelihatannya.”

Tere tersenyum karena mulutnya masih penuh dengan roti lapis daging buatannya sendiri.

Ruang training yang dindingnya terbuat dari kaca itu, letaknya sangat strategis, di pojok lantai 1. Jadi ini merupakan tempat khas untuk bergosip, menghindar dari tugas bos, makan, bahkan untuk tidur. Para instruktur yang terdiri dari 3 orang ini sangat gemar berbicara. Bukan mengenai materi yang akan di ajarkan, tapi…from A to Z about people in the office. Semuanya di bahas. Yang Udin katanya sombong lah karena punya mobil baru cicilan, Soleh yang tukang perintah lah, Rina yang sering sakit lah, Emilia yang tidak becus lah, sampai perselingkuhan para bos pun masuk dalam agenda pembicaraan mereka. Dan itu dilakukan setiap hari. Jika Ibu Dince dan Geisha sudah bergabung, jam kerja pun bisa di mulai menjelang makin siang dan gosip – gosipnya bisa menjadi semakin panas.

“Mas, Ibu Dince kemana ya?” Winda bertanya sambil membawa 2 lembar kertas.

Gofur tertawa – tawa. “Ah, kamu. Masak tidak tahu camp dia? Seperti biasa lah, di ruang training.”

Winda pun ikut tertawa. “Aduh, dari tadi masih belum selesai juga konferensi meja bundarnya. Aku mau minta tanda tangan dia. Suratman lagi menunggu di lobby, dia mau berangkat antar surat, maksud aku sekalian.”

“Ya sudah. Kamu ke ruang training saja, minta tanda tangan, tapi jangan lupa bawa biskuit ya.” Gofur berkata. Dia tetap sibuk di depan komputernya sambil masih tertawa geli.

“Hah? Biskuit? Buat apa coba?” Winda bertanya. Dia terlihat sedikit panik karena banyak pekerjaan yang harus di selesaikan.

“Kalau kamu masuk ke situ, di jamin tidak bisa keluar. Makannya bawa biskuit sama teh atau kopi, duduk lah disana bersama mereka. Banyak hal menarik yang di bicarakan.” Gofur berkata dengan ringan sambil memainkan matanya.

“Ih, dasar.” Winda berseru. Setelah mencubit lengan Gofur, dia pun bergegas ke ruang training.

Ibu Dince, Geisha, Tere, Tania, dan Bernard sedang asyik berbicara sambil tertawa – tawa. Sepertinya ada hal lucu.

“Ibu, saya mau minta tanda tangan.” Winda langsung masuk dan menyodorkan surat di hadapannya.

“Aduh, ada orang sibuk!” Bernard berkata sinis. “Gila, serius sekali Winda ini.”

“Oh, boleh. Surat untuk minta sponsor ya?” Ibu Dince bertanya sambil memakai kacamata yang di gantung dengan tali di lehernya.

“Iya, Ibu.” Winda berkata singkat.

“Jadi pekerjaan kamu hanya ini saja ya?” Tania mulai bangkit dari kursinya. “Buat surat, terus dikirim, selain itu tidak ada kan?”

Winda mulai mengerutkan keningnya. “Maksudnya?” Dia hanya berkata dalam hati, pasti mereka ini ingin menyindirnya lagi. Dan ternyata benar.

“Hanya event saja maksudnya. Kegiatan marketing seperti visit, sales, presentasi, kamu masih belum bisa kan?” Geisha menambahkan sambil melirik Tania.

“Aku rasa unit kamu tidak perlu staf. Cukup Manager saja. Karena kalau aku pikir, hanya buang uang untuk menggaji anak kontrak yang pekerjaanya sedikit.” Tania berkata lagi dengan lebih tajam.

Winda pun melihat ke arah mereka satu per satu.

“Namanya juga bos, Tan. Yang tidak ada ya….di adakan. Bos is the king.” Tere berkata sinis.

Ibu Dince masih pura – pura sibuk membaca surat setelah menandatanganinya.

“Kamu ada hubungan apa sama Direktur Keuangan?” Bernard mulai menginterogasi. “Keponakan atau adik? Eh, tapi sudahlah….apapun itu, judulnya adalah saudara, jadi kamu bisa masuk ke perusahaan ini.”

“Okay. Ini sudah benar suratnya. Langsung dikirim saja.” Ibu Dince berkata sambil memberikan surat itu kepada Winda. “Eh, lanjut cerita yang tadi. Setelah Pak Sony di marahi sama istrinya, dia bagaimana reaksinya?”

“Diam saja.” Tere berkata. “Amir itu sopirnya yang cerita semua disini.”

Pak Sony adalah Direktur Utama yang dikendalikan sang istri. Urusan kantor dan segala peraturan di dalamnya, 85% adalah campur tangan istrinya.

“Terima kasih, Ibu.” Winda berkata lalu pergi meninggalkan mereka.

Tidak ada yang menyahut. Semua hanya menyaksikan dia pergi keluar ruangan.

“Anak yang minim skill begitu kok diterima ya? Heran!” Bernard mengoceh lagi.

Kan sudah dibilang tadi, dia saudara sama salah satu bos kita. Nepotisme lah.” Tania berkata sambil tertawa sinis.

“Padahal dia training sudah tidak lulus. Masak di ulang terus, sampai akhirnya diterima. Nilai juga tidak bagus – bagus amat.” Tere berkata.

“Gila ya kita. Calon pegawai selain Winda kita kasih soal yang mudah, sementara Winda kita kasih yang super sulit, no wonder dia selalu jelek nilainya.” Bernard berkata riang.

Akhirnya semua pun tertawa.

Pukul 11.00. Matahari sudah semakin tinggi dan panas. Aktifitas pastinya semakin sibuk bagi yang memang benar – benar bekerja.

“Sudah. Mari kita bekerja kembali.” Ibu Dince berkata. “Nanti kalau dicari bos, kita sudah ada di meja masing – masing. Ya…pura – pura sibuk. Ayo, Geish.”

Kelompok gosip yang terdiri dari pegawai senior itu, yang perempuan semuanya menggunakan high heel dan berdandan penuh warna. Penampilan memang penting, tapi terkadang tidak di barengi dengan hati yang bersih, dedikasi, dan sikap yang baik. Rasanya setiap perusahaan ada kelompok seperti itu. Hhm, fenomena yang wajar dan sering terjadi. Tergantung dari masing – masing individu bagaimana menyikapinya. Hanya saja kenyataannya, banyak para penghuni kantor yang lupa bersyukur. Mereka sudah diterima bekerja, mempunyai pekerjaan, dan bergaji, tapi tidak segera membentuk dirinya menjadi manusia yang bermanfaat. Bagaimana dengan ribuan orang di luar sana yang tidak berpenghasilan dan tetap berkhayal sambil berharap bahwa nantinya mereka akan bekerja untuk memenuhi tuntutan hidup? Perbedaan dua dunia yang sangat mencolok namun belum ada solusi bagaimana mengubah perilaku Mrs. High Heel and the gank. :-)

Post a Comment

0 Comments