“Selamat pagi semua….” Ibu Dince
berkata. Berbaju rapi dengan mengenakan blazer bermerk, aksesoris lengkap, tas
mahal bergantung di pangkal tangan, dan high heel 7 cm.
Suara langkahnya sangat khas, sehingga
sesama rekan kerja di ruangan Marketing itu pun langsung menyambutnya.
“Pagiiiiiii, Ibu!” Semua menyahut bagaikan
paduan suara.
Aroma parfumnya semerbak memenuhi
ruangan, secara itu pasti juga bukan wewangian refill.
“Eh, sudah pada sarapan belum?” Ibu
Dince bertanya lagi. Jabatannya sebagai Supervisor Marketing menjadikan dia
yang paling di segani, karena dia salah satu pegawai senior di perusahaan
penerbangan bergengsi ini. Setelah meletakkan tas, dia pun langsung menuju
pantry untuk membuat kopi mix kesukaannya.
“Belum, Ibu.” Geisha menjawab riang.
“Ibu Dince pasti mau meracik kopi ya? Aku juga ah.”
“Ayo, Geish.” Ibu Dince berkata.
Jam sudah menunjukkan pukul 8.30.
Kedua pegawai senior itu masih asyik bercakap – cakap di pantry. Sementara para
pegawai junior dan anak – anak kontrak sudah terlihat sangat sibuk di depan
komputer masing – masing. Ada
yang membuat laporan, ada yang sedang berkorespondensi dengan kolega di luar
negeri, ada yang ngeprint berlembar – lembar, foto copy, sampai mondar – mandir
ke ruangan bos untuk koreksi.
Ibu Dince dan Geisha turun dari pantry
karena letaknya ada di lantai 2. Mereka berjalan santai sambil membawa mug
berisi minuman favorit mereka, yang satu kopi, dan satunya lagi teh panas.
“Enak sekali aroma kopi ini. Tanpa
kopi rasanya mustahil untuk bisa fokus bekerja.” Ibu Dince mengoceh lagi. Dia
berdiri di depan meja Geisha.
“Iya, aku juga kalau pagi selalu minum
teh. Kurang lengkap rasanya kalau belum minum teh.” Geisha menimpali. “Masak
kita hanya minum, Ibu Dince?”
“Beli apa kek, Geish.” Ibu Dince lalu
meneguk kopi panasnya.
“Gorengan? Mau?” Geisha bertanya
sambil membuka dompet.
“Aduh, jangan gorengan. Kolesterol.
Taoge goreng lebih enak. Aku lebih suka kalau taogenya tidak terlalu lembek.
Jadi agak mentah, so berasa crunchy.” Ibu Dince menjelaskan dengan gaya elitnya. “Aku kemarin
waktu pergi ke Belanda sama Gina anakku, aduh….gila…aku ngidam taoge goreng. Di
sana mana ada?
Akhirnya aku makan salad.”
“Yah, ke Belanda ngidam taoge goreng.”
Geisha berkata lalu tertawa nyaring. “Mana ini si Fachri? Di telepon kok tidak
diangkat?”
“Kalau tidak diangkat begitu, biasanya
dia lagi di workshop, Geish. Bantu anak – anak tehnik angkat komputer.” Ibu
Dince berkata. “Kamu serius sekali, Donny.” Dia berdiri sambil tetap memegang
mugnya, lalu berjalan ke arah meja Donny.
Donny langsung dengan kecepatan kilat
menutup layar percakapan Yahoo Messengernya. “Iya, Ibu Dince. Disuruh Pak Handi
membuat laporan sales tiga bulan berturut – turut.
“Owh!” Ibu Dince berkata singkat.
“Kamu sibuk apa, Winda?”
“Saya sedang mengerjakan segala
persiapan untuk event bowling itu, Ibu.” Winda salah satu anak kontrak itu
menjawab ramah.
“Jangan terlalu serius. Santai saja.”
Ibu Dince berkata. Dengan memegang mugnya, dia duduk lagi di depan meja Geisha.
“Sudah tersambungkan belum dengan Fachri? Sudah mulai lapar ini. Nanti
kehabisan lho kita.”
“Fachri lagi sibuk di gudang, tapi aku
sudah minta tolong satpam untuk pesan. Sudah di buatkan kok. Sebentar lagi di
antar.” Geisha berkata.
“Wah, mantab! Eh, nanti kalau sudah jadi
taoge gorengnya, jangan makan disini, kita ke ruangan training saja. Makan sama
– sama disitu. Pasti si Tania, Tere, dan Bernard juga lagi sarapan.
Jarum jam menunjukkan angka 9.00 dan
setelah satpam membawa 2 piring berisi taoge goreng ke dalam, Ibu Dince dan
Geisha bergegas berjalan menuju ke ruang training.
“Makan apa?” Bernard bertanya dengan
lemah gemulai. Badan tinggi besar, berkumis, plus penyuka pria – pria ganteng
dan parlente. “Idih, taoge goreng. Sangat tidak keren.”
“Memangnya kamu sarapan apa, Ber?”
Geisha bertanya sambil meletakkan piringnya di meja Bernard. Dia pun mulai
menyantap taoge goreng.
“Scrambled egg, French fries, dan tuna
sandwich.” Bernard berkata.
“Boleh ambil French friesnya?” Ibu
Dince mengambil satu potongan kentang goreng.
“Silahkan.” Bernard mendorong
piringnya.
“Wah, sarapan kamu juga enak
kelihatannya.” Ibu Dince bergerak lagi ke meja Tania. “Masak sendiri atau beli,
Tan?”
“Pembantuku jago masak. Nasi gorengnya
enak, di tambah sosis goreng jadi makin komplit.” Tania berkata sambil sesekali
melihat ke arah kaca kecil di mejanya. Dia paling memperhatikan penampilan
walaupun hanya bermodal wajah yang sangat biasa. Rok ataupun celana yang
dipakainya selalu bertipe super ketat, rambut pendek berwarna pirang, dan
perhiasan yang serba gemerincing. Penampilan itu dapat menyamarkan beberapa
gigi di gusinya yang ompong. Satu tangan selalu di pergunakan untuk menutup
mulutnya setiap kali dia tertawa. Dia memang termasuk golongan paling pintar,
segala bidang di setiap unit kantor yang membutuhkan solusi, dia yang sering
memecahkannya. Sehingga hal itulah yang membuatnya sombong.
“Tere tidak terdengar suaranya?” Ibu
Dince menoleh ke mejanya. “Aduh, kamu asyik sekali kelihatannya.”
Tere tersenyum karena mulutnya masih
penuh dengan roti lapis daging buatannya sendiri.
Ruang training yang dindingnya terbuat
dari kaca itu, letaknya sangat strategis, di pojok lantai 1. Jadi ini merupakan
tempat khas untuk bergosip, menghindar dari tugas bos, makan, bahkan untuk
tidur. Para instruktur yang terdiri dari 3
orang ini sangat gemar berbicara. Bukan mengenai materi yang akan di ajarkan,
tapi…from A to Z about people in the office. Semuanya di bahas. Yang Udin
katanya sombong lah karena punya mobil baru cicilan, Soleh yang tukang perintah
lah, Rina yang sering sakit lah, Emilia yang tidak becus lah, sampai
perselingkuhan para bos pun masuk dalam agenda pembicaraan mereka. Dan itu
dilakukan setiap hari. Jika Ibu Dince dan Geisha sudah bergabung, jam kerja pun
bisa di mulai menjelang makin siang dan gosip – gosipnya bisa menjadi semakin
panas.
“Mas, Ibu Dince kemana ya?” Winda
bertanya sambil membawa 2 lembar kertas.
Gofur tertawa – tawa. “Ah, kamu. Masak
tidak tahu camp dia ? Seperti biasa lah, di ruang
training.”
Winda pun ikut tertawa. “Aduh, dari
tadi masih belum selesai juga konferensi meja bundarnya. Aku mau minta tanda
tangan dia. Suratman lagi menunggu di lobby, dia mau berangkat antar surat , maksud aku
sekalian.”
“Ya sudah. Kamu ke ruang training
saja, minta tanda tangan, tapi jangan lupa bawa biskuit ya.” Gofur berkata. Dia
tetap sibuk di depan komputernya sambil masih tertawa geli.
“Hah? Biskuit? Buat apa coba?” Winda
bertanya. Dia terlihat sedikit panik karena banyak pekerjaan yang harus di
selesaikan.
“Kalau kamu masuk ke situ, di jamin tidak
bisa keluar. Makannya bawa biskuit sama teh atau kopi, duduk lah disana bersama
mereka. Banyak hal menarik yang di bicarakan.” Gofur berkata dengan ringan
sambil memainkan matanya.
“Ih, dasar.” Winda berseru. Setelah
mencubit lengan Gofur, dia pun bergegas ke ruang training.
Ibu Dince, Geisha, Tere, Tania, dan
Bernard sedang asyik berbicara sambil tertawa – tawa. Sepertinya ada hal lucu.
“Ibu, saya mau minta tanda tangan.”
Winda langsung masuk dan menyodorkan surat
di hadapannya.
“Aduh, ada orang sibuk!” Bernard
berkata sinis. “Gila, serius sekali Winda ini.”
“Oh, boleh. Surat untuk minta sponsor ya?” Ibu Dince
bertanya sambil memakai kacamata yang di gantung dengan tali di lehernya.
“Iya, Ibu.” Winda berkata singkat.
“Jadi pekerjaan kamu hanya ini saja
ya?” Tania mulai bangkit dari kursinya. “Buat surat ,
terus dikirim, selain itu tidak ada kan ?”
Winda mulai mengerutkan keningnya.
“Maksudnya?” Dia hanya berkata dalam hati, pasti mereka ini ingin menyindirnya
lagi. Dan ternyata benar.
“Hanya event saja maksudnya. Kegiatan
marketing seperti visit, sales, presentasi, kamu masih belum bisa kan ?” Geisha menambahkan
sambil melirik Tania.
“Aku rasa unit kamu tidak perlu staf.
Cukup Manager saja. Karena kalau aku pikir, hanya buang uang untuk menggaji
anak kontrak yang pekerjaanya sedikit.” Tania berkata lagi dengan lebih tajam.
Winda pun melihat ke arah mereka satu
per satu.
“Namanya juga bos, Tan. Yang tidak ada
ya….di adakan. Bos is the king.” Tere berkata sinis.
Ibu Dince masih pura – pura sibuk
membaca surat
setelah menandatanganinya.
“Kamu ada hubungan apa sama Direktur
Keuangan?” Bernard mulai menginterogasi. “Keponakan atau adik? Eh, tapi
sudahlah….apapun itu, judulnya adalah saudara, jadi kamu bisa masuk ke
perusahaan ini.”
“Okay. Ini sudah benar suratnya.
Langsung dikirim saja.” Ibu Dince berkata sambil memberikan surat itu kepada Winda. “Eh, lanjut cerita
yang tadi. Setelah Pak Sony di marahi sama istrinya, dia bagaimana reaksinya?”
“Diam saja.” Tere berkata. “Amir itu
sopirnya yang cerita semua disini.”
Pak Sony adalah Direktur Utama yang
dikendalikan sang istri. Urusan kantor dan segala peraturan di dalamnya, 85%
adalah campur tangan istrinya.
“Terima kasih, Ibu.” Winda berkata
lalu pergi meninggalkan mereka.
Tidak ada yang menyahut. Semua hanya
menyaksikan dia pergi keluar ruangan.
“Anak yang minim skill begitu kok
diterima ya? Heran!” Bernard mengoceh lagi.
“Kan sudah dibilang tadi, dia saudara sama
salah satu bos kita. Nepotisme lah.” Tania berkata sambil tertawa sinis.
“Padahal dia training sudah tidak
lulus. Masak di ulang terus, sampai akhirnya diterima. Nilai juga tidak bagus –
bagus amat.” Tere berkata.
“Gila ya kita. Calon pegawai selain
Winda kita kasih soal yang mudah, sementara Winda kita kasih yang super sulit,
no wonder dia selalu jelek nilainya.” Bernard berkata riang.
Akhirnya semua pun tertawa.
Pukul 11.00. Matahari sudah semakin
tinggi dan panas. Aktifitas pastinya semakin sibuk bagi yang memang benar –
benar bekerja.
“Sudah. Mari kita bekerja kembali.”
Ibu Dince berkata. “Nanti kalau dicari bos, kita sudah ada di meja masing –
masing. Ya…pura – pura sibuk. Ayo, Geish.”
Kelompok gosip yang terdiri dari
pegawai senior itu, yang perempuan semuanya menggunakan high heel dan berdandan
penuh warna. Penampilan memang penting, tapi terkadang tidak di barengi dengan
hati yang bersih, dedikasi, dan sikap yang baik. Rasanya setiap perusahaan ada
kelompok seperti itu. Hhm, fenomena yang wajar dan sering terjadi. Tergantung
dari masing – masing individu bagaimana menyikapinya. Hanya saja kenyataannya,
banyak para penghuni kantor yang lupa bersyukur. Mereka sudah diterima bekerja,
mempunyai pekerjaan, dan bergaji, tapi tidak segera membentuk dirinya menjadi
manusia yang bermanfaat. Bagaimana dengan ribuan orang di luar sana yang tidak
berpenghasilan dan tetap berkhayal sambil berharap bahwa nantinya mereka akan
bekerja untuk memenuhi tuntutan hidup? Perbedaan dua dunia yang sangat mencolok
namun belum ada solusi bagaimana mengubah perilaku Mrs. High Heel and the gank. :-)
0 Comments
Share your comments for me then I will be happy