Berapakah
harga satu stel blazer? Pasti lumayan. Kalau dulu, 150 ribu bisa dapat lengkap,
rok, blazer, dan baju dalamnya. Tapi sekarang, rata – rata sudah amat mahal.
Apalagi kalau bahannya bagus, dijamin, harga akan semakin menguras dompet.
Kaum perempuan yang bekerja saat
ini, sebagian besar mengenakan blazer jika mereka ke kantor. Terlihat keren,
rapi, dan berwarna – warni. Dan tentu saja cantik. Enak di pandang mata. Rasa
bangga juga dapat di ikut sertakan. Perempuan mandiri yang tangguh, karena ikut
membanting tulang untuk keluarga bagi yang sudah menikah atau untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri bagi yang masih single.
“Report untuk Head Office sudah kamu
kirim belum?” Bos bertanya.
“Sudah, Pak. Saya kirim ke e-mail
pribadi karena responnya selalu delivery failure kalau di e-mail kantor.” Staf operasional
menjawab sambil membetulkan posisi blazernya.
“Saya check dulu. Kamu tolong
siapkan ruang meeting saja untuk nanti. Kita harus membahas banyaknya permasalahan
yang terjadi.” Bos berkata sambil masuk ke ruangannya lagi.
“Baik, Pak.”
Nah, mari kita berjalan ke pasar
tradisional, dalam hal ini di Jawa. Coba lihat, banyak juga yang mengenakan
kebaya. Bedak agak tebal di wajah yang mana hanya berharga beberapa ribu,
kebaya tipis bermodel sederhana lengkap dengan sewek (kain panjang ; bawahan
kebaya), dan stagen melilit yang mana sering mereka pergunakan untuk menaruh
uang. Terkadang lucunya, mereka menyimpan uang dari pembeli di dalam payudara
(maaf). Entah fenomena semacam itu masih ada atau tidak. Mereka kurang paham,
bahwa uang sangatlah kotor, dan tidak boleh di letakkan disana.
“Ibu, ini harganya berapa?” Seorang
perempuan muda sambil menggandeng anaknya bertanya. Dia sibuk memilih sayur
kangkung.
“Satu ikat 500 rupiah, Mbak. Mau
beli berapa?” Ibu penjual berkebaya itu pun berdiri sambil ikut membantu
memilih sayur kangkung yang bagus.
“Boleh kurang tidak?”
“Tidak boleh, Mbak. Saya hanya dapat
untung seratus rupiah.”
Perempuan muda itu pun berlalu. “Ya
sudah kalau tidak boleh. Mari, Ibu.”
“Ya, tidak apa – apa. Mari.” Dia pun
duduk sambil sibuk menginang lagi.
Waktu berselang 15 menit, perempuan
muda tadi berdiri lagi di depan penjual sayur kangkung. Dia berlalu untuk
membeli ayam dan sekarang mencoba untuk menawar sayur dengan harga semula.
“Ibu, boleh ya?”
“Ya sudah, boleh.” Sambil tersenyum,
dia pun mengambil tas plastik untuk menaruh sayur kangkung 4 ikat.
“Terima kasih.” Dia pun segera
pergi.
“Laris, laris, laris.” Uang kertas
berjumlah seribu lima
ratus rupiah tadi di banting – banting di atas sayur dagangannya.
Penjual ikan di sebelahnya pun
tersenyum. Dia juga menggunakan kebaya sederhana dan ikut senang jika temannya
beroleh rejeki.
“Iwak’ku sek akeh. Durung payu.” Ibu
penjual ikan berkata. (“Ikanku masih banyak. Belum laku.”)
“Sabar tho.” Lanjut menginang.
“Dino iki wis enthuk bathi piro, Nyah?” Ibu penjual
ikan bertanya sambil berjalan mendekat dan ikut menginang. (“Hari ini dapat
untung berapa, Bu?”)
“Sek thithik. Aku kulak’an maeng
ngenthekno duek rong atus seket ewu. Iki sek nyekel duek seket limo ewu.”
(“Masih sedikit. Aku belanja tadi habis dua ratus lima puluh ribu. Ini masih pegang uang lima puluh lima
ribu.”)
“Lha yo mending kuwi. Aku malah sek
enthuk rong puluh ewu. Kok sepi tho yogh dino iki?” Ibu penjual ikan tampak
galau. (“Mendingan itu. Aku malah masih dapat dua puluh ribu. Kok sepi ya hari
ini?”)
“Rejeki iku ora mesthi, Nyah.” Ibu
penjual sayur berkata bijak sambil tersenyum. (“Rejeki itu tidak pasti, Bu.”)
“Bener. Di syukuri ae yo lek ngono.”
Setelah puas menginang di lapak temannya, Ibu penjual ikan itu pun kembali ke
tempatnya lagi. (“Benar. Di syukuri saja kalau begitu.”)
“Sing penting iku, kene iki wis tangi isuk mruput. Wis usaha. Wong Gusti
Allah yo ora sare.” Ibu penjual sayur berkata lagi. (“Yang penting itu, kita
sudah bangun pagi – pagi sekali. Sudah berusaha. Gusti Allah tidak tidur.”)
“Leres wis. Nggih pun.” Ibu penjual ikan berkata
sambil menujukkan jempol tangannya. (“Benar lah. Ya sudah kalau begitu.”)
Percakapan sederhana di pasar,
dimana para pedagang itu berjuang keras, mencari untung rupiah demi rupiah
untuk kelangsungan hidup mereka. Jika di bandingkan, uang lima ratus rupiah bagi perempuan berblazer
tidak akan berarti apa – apa. Uang dalam jumlah itu, mungkin hanya sebagai
pelengkap jika mereka berbelanja atau dipersiapkan untuk pengamen jalanan dan
fakir miskin.
Banyak juga di dalam obrolan pria,
kalau mereka tidak suka melihat perempuan bekerja, karena pekerjaan, keluarga
tidak terurus. Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya benar. Banyak sekali di
luar sana,
keluarga – keluarga yang bekerja keras untuk kesejahteraan hidup. Perempuan
bekerja adalah untuk memuliakan keluarga juga, agar anak – anak tercukupi
kebutuhannya.
Sementara untuk perempuan single,
bekerja itu adalah penghormatan diri. Bayangkan saja, jika ada perempuan single
yang tidak berpenghasilan, hanya bermanja – manja berharap pemberian orang tua.
Orang di sekeliling pun tidak akan menghargainya. Bahkan ada yang mencibir. Tapi
coba lihat, perempuan single yang sukses, terlebih lagi karena usahanya
sendiri, hhm….topi pun akan di angkat untuknya. Orang pasti berdecak kagum dan
ingin menjelma seperti dirinya.
Sebetulnya apa inti ceritanya?
Tulisan berjudul blazer vs stagen ini memang khusus di tujukan untuk para
perempuan. Tidak perduli seberapa rapinya penampilan mereka, ataupun tetap
dalam kesederhanaan, tujuan mereka hanya satu. Bekerja keras, memperoleh hasil
baik itu gaji, keuntungan usaha, dan penghargaan diri.
Tidak sepantasnya perempuan sekarang
itu hanya diperbolehkan memakai daster atau baju lusuh yang hanya berkutat di
dapur dan bersih – bersih rumah. Perempuan di ciptakan jauh lebih kuat daripada
pria. Bukan secara fisik, tapi dari segi mental mereka.
Lihatlah perempuan – perempuan di
pasar tadi. Sudah lumayan berumur dan mereka masih sibuk berjualan di pasar.
Kegiatan seperti itu sudah dilakukan jauh sebelum para pria berpendapat bahwa
perempuan tidak boleh bekerja. Bahkan mereka itu boleh dibilang hidup di masa konservatif
yang mengharuskan mereka untuk di rumah saja, mengurus suami dan anak.
Sepertinya mereka melawan arus. Untuk apa? Kesejahteraan keluarga tentunya. Dan
itu sah daripada anak – anak terlantar karena hidup kekurangan.
Bukan blazer atau stagennya yang
dilihat, tapi tujuan mulia di baliknya. Kerja keras untuk bisa hidup layak.
Tidak ada aturan yang melarang kelayakan kualitas hidup seseorang. Selama
kebutuhan tercukupi karena kerja keras, blazer ataupun stagen bukan lagi
menjadi penentu. Walaupun hanya berstagen dan duduk di pasar tradisional, tak
jarang anak – anak mereka bisa sekolah dan bekerja di tempat yang bagus.
***
0 Comments
Share your comments for me then I will be happy