Sudah hampir dua minggu Erlin jarang bertemu dengan kedua
orang tuanya. Dia sibuk dengan pekerjaan kantor. Lembur, pulang larut malam,
dan masih saja mengerjakan beberapa hal sampai hampir pagi. Begitu datang,
dia langsung mandi, makan, masuk kamar, dan tidak keluar lagi.
Erlin tampak serius di depan laptopnya.
Lembaran Ms. Word, Excel, dan Power Point berganti-gantian dibukanya. Sesekali mengecek email, membaca, dan membalasnya. Suara televisi terdengar dari ruang keluarga. Ada
sesuatu yang mengganggunya. Channelnya berubah-ubah terus.
“Aduh, Papa sama Mama
ini mau nonton apa sih?” gerutu Erlin. Dia lantas memasang headset, mendengarkan musik untuk membuatnya tetap fokus.
“Sudah jam 12
kok masih belum tidur mereka?”
Erlin hendak berdiri dari kursinya,
tapi dia mengurungkan niatnya. “Ah, sudahlah. Masih banyak yang
belum selesai ini pekerjaanku. Lebih baik aku di kamar saja. Biar mereka saja yang
mematikan televisinya.”
Channelnya masih terus berubah-ubah.
“Ya ampun!”
“Papa! Kecilkan sedikit volumenya!” teriak Erlin kesal.
Suara televisi pun menjadi pelan, namun terus saja diganti-ganti.
“Mau lihat acara apa sih! Berisik,
Papa!”
Erlin menyimpan data-data di dalam flask disknya. Lima
menit kemudian dia keluar dari kamarnya. Ruang keluarga sepi, lampu sudah dimatikan,
tidak ada suara televisi.
“Lho? Kamar Papa dan Mama
tampak gelap. Mungkin mereka langsung tidur setelah aku berteriak tadi.”
Erlin pergi ke dapur, membuat teh hangat,
membaca majalah, membuka sekali lagi file
yang sudah dia simpan, untuk memastikan bahwa pekerjaannya aman untuk besok. Jam
berdentang dua kali. Demikian juga suara televisi kembali terdengar dengan channel yang diganti-ganti.
“Astaga, Papa atau Mama ini yang
bangun?” kata Erlin. Dia menghela nafas, tidak memperdulikannya, dan memilih untuk naik ke tempat tidur.
Beberapa menit Erlin hampir saja terbawa ke alam mimpi,
namun terganggu oleh langkah kaki yang mondar-mandir di depan pintu kamarnya.
“Tumben mereka terbangun. Besok pagi saja akan aku tanyakan. Hhm, kalau ada waktu…”
Dia menguap lantas tertidur.
*
“Wah, tadi pagi tidak sempat bertemu
Papa dan Mama. Sekarang sudah jam sepuluh malam. Aku sudah di
kamarku lagi. Cari uang itu memang susah.” Erlin berbicara sendiri.
Seperti biasa,
Erlin terus bekerja tanpa menghiraukan beberapa ketukan di pintu. “Sebentar, Ma.”
“Kalau ada makanan, Mama
biasanya langsung masuk. Ini kenapa pakai mengetuk pintu segala? Semoga ada pisang goreng
di meja makan.”
Suara televisi yang berganti-ganti channel kembali menggema.
Erlin langsung bangkit dari kursi dan keluar kamar. “Sepi….”
Dia melangkahkan kakinya ke ruang keluarga yang luas itu. “Masak iya Papa dan Mama
tadi yang menyetel televisi?”
*
“Lin, jam tujuh kok masih santai di
rumah?”
“Ada meeting nanti, Ma. Bukan di
kantor, tapi di hotel Ganesya.”
“Hhm,
pantes tidak menyentuh sarapan buatan Mama.”
Erlin tertawa. “Menu sarapan di hotel
bintang lima kan enak. Eh, Ma, tadi malam siapa sih yang nonton televisi? Papa atau
Mama?”
“Papa dan Mama.”
“Sejak kapan Papa dan Mama
suka tidur larut malam begitu? Mana berisik pula. Channel diganti-ganti terus.”
“Kita berdua memang suka nonton film,
tapi begitu kamu datang dan masuk kamar, televisi kita matikan. Papa dan Mama
langsung istirahat.”
“Hah? Serius, Pa?”
“Ada apa sih, Lin?” tanya Mama
Erlin bingung.
“Engg….hhm….tidak apa- apa, Ma.
Erlin berangkat dulu.”
*
“Mungkin aku kelelahan,
jadi banyak mendengar suara-suara yang
sebenarnya tidak ada. Apa ini efek samping kerja terlalu keras ya?”
Erlin merebahkan tubuhnya di
atas tempat tidur. Jam berdentang satu kali. Laptopnya dibiarkan menyala. Dia ingin bersantai sejenak. Tiba-tiba suara televisi dengan channel yang diganti-ganti terdengar lagi.
“Aku sedang mimpi atau apa sih ini? Seperti ada tamu baru saja. Dini hari tapi kok ramai di
rumahku.”
Dengan bermalas-malasan, Erlin membuka pintu kamarnya. Dia melihat ada
orang duduk di sofa. “Pa…? Ma….?” panggilnya pelan.
Orang itu berdiri. Televisi dan lampu di
ruang keluarga seketika mati. Dia memakai rok putih, rambutnya panjang,
dan terus pergi dengan cepat menuju ruang tamu, tak berkaki. Nafas Erlin naik turun,
matanya terbelalak, kemudian dia pingsan.
*
“Wah, biasanya kamu datang on time,
Lin. Bangun kesiangan ya?” tegur Ira teman seruangannya.
Erlin tidak menjawab.Dia membisu.
“Kamu sakit, Lin?”
Erlin hanya melihat sekilas ke arah temannya itu. Dia berjalan menuju ke toilet, berdiri berlama-lama di
depan kaca, dan yang terlihat adalah rupa perempuan yang
suka duduk menonton televisi dengan channel yang diganti-ganti di rumahnya,
bukan muka Erlin yang asli.
*
0 Comments
Share your comments for me then I will be happy