Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

A Lesson From Mamak

Beberapa hari ini Malang dingin sekali. Saya pun tidur memakai sweater dan kaos kaki. Bagaimana kalau saya tinggal di negara bersalju yah? Mungkin setiap hari saya akan memakai bed cover kemana-mana untuk menghangatkan badan, sambil menenteng teko berukuran besar berisi kopi panas.

Keadaan seperti ini mengingatkan saya pada nenek yang sudah meninggal pada saat saya masih di bangku SMA. Setiap udara Malang dingin menusuk tulang, nenek selalu menyuruh saya membuat teh panas agar terasa hangat. Ah, I miss her.

Nenek berdarah Manado dan Portugis. Seorang pekerja keras paling gigih yang pernah saya tahu selain Mama. Pastinya Mama saya juga hasil didikannya. Pantang menyerah, kuat, rajin, ulet, dan berhati emas. Kenapa berhati emas? Karena walaupun hidup serba pas-pasan, nenek selalu membantu orang yang kekurangan. Sangat tulus dan ikhlas.  

Di balik sifatnya yang terkenal cerewet dan disiplin, nenek adalah orang yang penuh kasih. Kami memanggilnya Mamak :-) Cerewet karena anak perempuan dan cucu perempuan dilarang bangun siang, harus masuk dapur untuk bisa memasak, dan membersihkan rumah. Saya lumayan sering diomelin juga. Seperti ini contohnya : 
"Pegang ulegan itu yang benar! Bagaimana bisa halus itu cabainya!"          
"Anak perawan bangun siang! Haduh!"

Saya jadi tersenyum sendiri mengingatnya. Seandainya nenek masih hidup sekarang, dan kanker rahim tidak menggerogotinya, saya yakin, dia akan keheranan melihat semua peralatan masak yang serba canggih. Pengiris bawang putih, bawang merah, penghalus cabai, pembuka kaleng, atau mixer yang tidak usah dipegang tangan, adonan bisa teraduk-aduk dengan otomatis. Nenek hobi memasak, aneka masakan, dan kue-kue lezat. 

Satu hal yang saya tidak bisa lupa sampai detik ini adalah ajakan nenek untuk makan bersama dengan para bakul di pasar kecil dekat rumah. Saya masih SD dan ketika waktunya makan siang, nenek memasak nasi, sayur di kulup, tempe dan tahu goreng, pindang goreng, dan sambal bekasang atau dabu-dabu super pedas. Saya membantunya membawa semua itu. 

Para bakul langsung sumringah melihat kami berdua berjalan sambil menenteng masakan nenek yang terkenal enak walaupun sederhana. Mereka kemudian akan menyumbang kerupuk dari dagangan mereka. Kami makan dengan riang gembira, tertawa, bercerita, dan keringat bercucuran. Sambal buatan nenek seperti racun. 

Sebenarnya terlihat biasa saja yah, tidak ada yang istimewa. Tapi ternyata di balik itu, nenek secara tidak langsung mengajarkan kepada saya untuk tidak sombong dan bergaul tanpa memilih kelas. Sebuah pelajaran agar saya bisa mempunyai empati terhadap orang kecil. Sungguh, ketulusan itu saya dapat darinya. Saya bisa mengerti sepenuhnya bahwa hidup itu akan sangat bernilai ketika kita dapat berbagi dengan yang kekurangan. Bukan untuk mendapatkan pujian karena menolong orang, tapi semata-mata hanya ingin menyebarkan kasih. Itulah jiwa nenek saya yang tetap hidup di dalam badan saya. Hidup dalam kesulitan bersama nenek waktu itu, telah membentuk saya untuk menjadi pribadi yang selalu rendah hati. 

Well, we can not only learn many things from the books or internet, but literally it can be found simply from the people around us. Mak, rest in peace in heaven yah. Saya yakin Tuhan sangat menyayangimu. Thank you for a lesson that is truly valuable for me. Anyway, saya sudah bisa buat sambal dabu-dabu lho, Mak. Keren kan. *hug you from here with my prayers* #tearsdrop 


Post a Comment

0 Comments