Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Can We Just Fix Everything?

Hujan sudah mulai mengguyur kota Malang. Memasuki bulan Desember, hampir setiap hari hujan membasahi kota kecil yang terkenal akan bakso dan keripik tempenya. Banyak toko, restoran, dan beberapa tempat sudah dihiasi dengan pernak-pernik Natal yang indah. Membawa suasana semarak akan Natal dan liburan akhir tahun.

Rumah berpagar kayu milik Nana tampak sejuk ketika air hujan membasahi semua tanaman hijau kesukaannya. Tercium aroma kue, menyeruak, bercampur bersama aroma basah tanah dan rerumputan.

Adonan berupa telur, mentega, terigu, dan gula dicampur jadi satu, di mixer. Dituang ke dalam loyang dan dimasukkan ke dalam oven. Nana dengan cekatan langsung mengambil kue-kue yang sudah matang lainnya, mengolesinya dengan cream cheese, lalu menaburinya dengan parutan keju. Kotak yang cantik sudah siap. Kue-kue itu akan dikemas dengan rapi, sebelum diambil oleh customer setianya.

Nana bekerja sendiri dan bulan Desember adalah bulan yang sangat sibuk baginya. Banyak orderan kue yang harus dia selesaikan. Hampir 200 kotak kue yang harus dia selesaikan selama bulan Desember. Mamanya hanya tersenyum melihat anak perempuannya bergulat dengan berbagai macam peralatan kue di dapur. 

"Ma, duduk sini deh. Temenin Nana. Ntar aku buatin wedang jahe. Abisnya, Mbak Wati masih sakit sih. Nana jadi kerja sendiri."

"Sabar, paling bentar lagi sembuh dia. Wedang jahenya coba dikasih kacang, Nduk. Kok kayaknya enak."

"Oh, jadi kayak skoteng gitu yah, Ma. Okay, siap!"

Dalam waktu lima menit, wedang jahe sudah ada di depan mamanya. Sambil membuka toples berisi biskuit coklat buatan Nana, perlahan mamanya mulai mengunyah sambil sesekali menyeruput wedang jahe. 

"Nduk, kabarnya Michael gimana? Mama nggak pernah dengar lagi ceritanya."

Sambil menarik nafas panjang, Nana membuka oven dan mengambil kue-kue yang sudah matang.

"Nggak ada yang perlu diceritakan, Ma. Kan dia sudah pergi menjauhi Nana. Katanya sih mau nikah. Yah berarti bukan jodoh Nana. Simple."

"Kamu masih cinta sama dia kalau Mama lihat."

"Memang. Michael itu satu-satunya cowok yang bisa membuat Nana jatuh cinta dengan cara sederhana. Nggak tahu yah, Ma. Nana tuh suka sama hal-hal kecil yang dia lakukan. Kayak megang punggung Nana kalau pas kita mau naik eskalator, terus gandeng tangan Nana di tempat keramaian macem di mall, nemenin Nana ke dokter. Buat Nana itu romantis. Nggak usah candle light dinner ala telenovela."

Mama Nana tertawa dan terus memperhatikan cara anaknya berbicara tentang Michael. Dia masih percaya bahwa anaknya itu masih sangat mencintai Michael.

"Kalau misalkan dia tiba-tiba datang, nggak jadi menikah, dan melamar kamu, gimana, Nduk?"

"Nggak mungkin lah, Ma." jawab Nana sambil tersenyum kecil. "Sudah berapa tahun dia nggak pernah kontak Nana sejak putus. Nana harus move on. Tapi walaupun ada beberapa cowok yang deketin Nana, rasanya masih belum mau pacaran lagi. Lebih baik Nana sibuk bikin kue aja, Ma. Nanti pasti ada waktunya Nana bisa jatuh cinta lagi sama cowok yang lain. Doain lah, Ma."

"Pasti Mama doain, Nduk. Kalau memang kamu sudah mantab mau melupakan Michael, Mama doain kamu bisa ketemu sama yang lain, yang bisa klik sama hatimu."

"Mantab kok, Ma. Harus dilupakan. Toh dia sudah dapat yang baru juga."

"Biskuit coklat buatanmu enak. Udaranya dingin, Mama rebahan di kamar dulu yah, Nduk. Kamu kalau sudah selesai, buruan istirahat. Awas sakit karena terlalu capek kayak minggu lalu."

Nana tersenyum, mengambil mug bekas mamanya dan mencucinya. Seketika matanya basah. Dia berusaha tegar di depan mamanya, walaupun sebenarnya hatinya masih sepenuhnya untuk Michael. Bertahun-tahun dia mencoba untuk mencintai pria lain yang datang mendekatinya. Namun, satu pun tidak ada yang bisa menghapus kenangannya bersama Michael.

Nana segera menyelesaikan sepuluh loyang kue lagi sore itu. Mengemasnya dengan cantik dan meletakkannya di meja kayu besar dan panjang di depan dapur.

Setelah dapur terlihat bersih, Nana lalu mandi. Dia melihat dari jendela kamar, mamanya sedang tertidur pulas sambil memakai selimut tebal.

Jam sudah menunjukkan pukul 16.30. Customer Nana akan mengambil kue-kuenya pukul 17.00. Dia lalu duduk di teras belakang, memperhatikan tetesan hujan, dan meluruskan kakinya. Dia teringat kata-kata sahabatnya.

"Kamu jangan sekali-sekali meremehkan mimpi lho, Na. Seringkali mimpi itu pertanda."

"Halah, pertanda apa coba. Kalau aku sering mimpi tentang Michael, yah mungkin karena aku sering memikirkan dia, jadi kebawa mimpi, atau juga efek kekenyangan."

"Tapi nggak sering juga kayak gitu kali."

"Terus kenapa kalau sering mimpi tentang dia? Nggak ngaruh apa-apa kan? Buktinya dia udah mau nikah."

"Na, mau nikah! I repeat, mau nikah! Belum nikah. Selama janur kuning belum melengkung, kamu masih bisa juga jadi jodohnya Michael."

Nana tertawa mendengar sahabatnya yang super cerewet itu menganalisa. Baginya sudah mustahil untuk kembali bersama Michael.

*

Lima hari menjelang Natal, semua orderan kue sudah terkirim. Ada cake jadul, strawberry cheese cake, tiramisu, dan spiku yang paling banyak diminati.

"Selesai yah semuanya, Nduk?"

"Puji Tuhan, Ma. Tepat waktu dan banyak yang kirim whatsapp dan bilang kalau kue-kuenya enak. Ah, senangnya Nana. Tapi ini ada orderan lagi. Padahal Nana sudah tutup order, eh, ada customer baru maksa."

"Mau order apa dia?"

"Jajanan tradisional, Ma. Minta dibikinkan cucur, lemper, lemet, sama klepon. Dia nginep di Hotel Santika. Kalau bisa besok dikirim dan harus aku sendiri yang antar, soalnya dia mau tanya-tanya tentang kue-kue buatan Nana, Ma. Katanya sih mau order buat acara malam tahun baru. Diterima nggak yah, Ma?"

"Terima aja, Nduk. Rejeki jangan ditolak. Lagian cuman satu customer itu aja kan?"

"Iyah, Ma. Cuman satu. Baiklah kalau begitu. Besok pagi-pagi aku mau belanja bahan. Aku info aja deh ke dia, sore baru bisa kirim kuenya."

"Nanti Mama bantu. Cucur dan klepon biar Mama yang bikin."

"Santai aja, Ma. Aku bisa kok. Mama nanti bantuin yang ringan-ringan aja."

*

Aroma gula merah, daun suji, daun pandan, daun pisang, bertebaran di dapur. Cucur, klepon, dan lemet sudah hampir siap. Nana masih sibuk memasak ayam untuk isian lemper.

Jam 1 siang, Nana mulai mengepal-ngepal ketan, memberi isi suwiran ayam, dan membungkusnya dengan daun pisang.

Pukul 16.00, kue cucur, klepon, lemet, dan lemper yang masing-masing berjumlah 30 biji sudah tertata rapi di kotak berwarna coklat yang bertuliskan Nana's Kitchen. Dia lalu mengirim whatsapp kepada customernya kalau dia dalam perjalanan menuju Hotel Santika.

Dua puluh lima menit kemudian, Nana sudah duduk di sofa di lobi hotel. Dia sedangs menunggu customernya. Diluar sedang gerimis.

"Hai, Na."

Mata Nana membelalak. Tubuhnya tidak sanggup untuk berdiri. Awalnya dia hanya bisa memandang tanpa berkata apapun. Namun tiba-tiba dia merasa kesal pada Michael.

"Hhm, kenapa gitu kamu harus menyamar jadi customer bernama Budi Suryawan?"

"Karena aku yakin, kalau aku yang order, dijamin nggak akan kamu gubris."

Nana tersenyum sinis. "Yah buat apa menanggapi calon suami orang. Nggak penting juga kan, Mike?"

"Sini kotak kuenya. Keluargaku pada di kamar, masih males keluar keliling Malang. Mereka ingin makan kue tradisional. Tunggu yah, kamu jangan pulang dulu."

Nana langsung menyerahkan kotak kuenya. Wajahnya masih terlihat malas untuk berbicara. Saat Michael sudah masuk ke dalam lift, Nana langsung berlari ke area parkir untuk mengambil mobilnya. Dia bergegas pulang.

"Gimana, Nduk? Customernya suka nggak sama jajanan tradisionalnya? Kok kamu kelihatan jutek gitu?"

"Suka kok, Ma."

"Sudah dibayar?"

"Sudah, Ma. Nana tidur dulu yah. Capek banget rasanya."

Mamanya tidak menjawab dan merasa heran melihat gelagat anak perempuannya.

*

Nana yang sedang tidur, merasa kalau mamanya sedang membangunkannya.

"Nduk, ada Michael di ruang tamu."

"Aduh, Tuhan! Mau ngapain lagi sih dia! Jam berapa sekarang, Ma?"

"Jam setengah sembilan. Sudah, lekas mandi sana. Mama temani dia dulu yah."

"Bilang aja aku tidur, Ma."

Nana menarik selimutnya dan menutupi seluruh tubuhnya hingga kepala.

"Na, nggak boleh gitu. Mungkin dia mau bicara sesuatu yang penting. Sudahlah, selesaikan dulu."

"Apanya yang diselesaikan, Ma? Paling kesini mau kasih undangan! Menyebalkan!"

Mamanya menggoyangkan tubuh Nana dan memaksanya mandi.

*

"Wah, yang habis mandi. Seger bener. Kamu masih pakai sabun lavender itu yah, Na? Aku masih hafal aromanya."

"Ada lagi yang perlu dibahas nggak, Mike? Kalau nggak ada yang penting, mending kamu pulang aja. Jalan-jalan, kulineran sama keluargamu."

Michael menyerahkan tiga lembar uang seratus ribuan. "Ini uang kuenya, Na. Sudah dibilang jangan pulang dulu, malah tetep aja pulang."

Nana membisu dan sama sekali tidak memperhatikan ketika Michael berbicara. Matanya menatap ke taman.

"I'm sorry okay. I didn't mean to hurt you. I started leaving you at that time, because I didn't have anything to be proud of. I mean, I didn't have a great job. I must accepted that offering, work overseas, in order to live properly, with you. I couldn't promise anything. So that's why I decided to leave you."

Airmata pun menetes di pipi Nana.

"I'm not engaged. I haven't got married yet. I'm still single. Well, I admitted that I had a girlfriend before. We had serious relationship. But I don't know, it's only a kind of relationship without love, I guess. I could never forget you. Just hearing your name, it could make me smile all day."

Michael lalu mendekat dan duduk di samping Nana.

"Can we just fix everything? My family is here. I would like to introduce you to them. I told them that you're the only woman who can make me able to feel what love is. And it's never changed since I saw you for the first time."

Nana menunduk, airmatanya masih mengalir deras. Dia tidak pernah menyangka bahwa Michael masih selalu memikirkannya.

Nana berkata pelan, "And I always love you too, Mike. So much."

*

Post a Comment

0 Comments